Opini: Wardah Savira Sarli (Ketua Hima Konawe Bidang Pendidikan dan Kesehatan)
Bullying atau perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di lingkungan pendidikan dan menjadi ancaman serius terhadap tumbuh kembang peserta didik. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis jangka panjang, seperti trauma, kecemasan, penurunan motivasi belajar, hingga krisis kepercayaan diri. Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, bullying jelas merupakan hambatan besar bagi terciptanya ekosistem pendidikan yang bermartabat dan inklusif.
Secara konseptual, bullying didefinisikan sebagai tindakan agresif berulang yang dilakukan untuk mendominasi, menyakiti, atau merendahkan individu lain. Bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, verbal, sosial, hingga digital. Keberagaman bentuk ini menuntut pendekatan penanganan yang tidak hanya berfokus pada pelaku dan korban, tetapi juga pada struktur sosial yang memungkinkan perilaku tersebut berkembang.
Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi peserta didik untuk tumbuh, berekspresi, dan mengembangkan potensi diri. Namun, dalam banyak kasus, sekolah justru menjadi arena terjadinya intimidasi akibat lemahnya pengawasan, perilaku reaktif, hingga kurangnya literasi emosional dan empati. Fenomena normalisasi “canda yang berlebihan”, “senioritas”, atau “uji mental” juga berkontribusi pada langgengnya budaya kekerasan yang dianggap wajar.
Di sinilah pendidikan karakter, pembiasaan disiplin positif, serta penguatan nilai-nilai moral menjadi penting. Sekolah harus membangun kultur yang menolak segala bentuk kekerasan dan memberikan ruang bagi setiap individu untuk dihargai tanpa memandang latar belakang sosial, kemampuan akademik, atau identitas personal.
Upaya menciptakan lingkungan bebas bullying merupakan tanggung jawab kolektif. Guru, sebagai figur edukatif dan moral, memainkan peran strategis dalam pencegahan dan penanganan kasus bullying. Penguatan kompetensi pedagogis dan emosional guru harus mendapat perhatian khusus, termasuk kemampuan mendeteksi tanda-tanda dini korban atau pelaku bullying.
Sekolah harus menerapkan sistem pelaporan yang aman, prosedur penanganan yang jelas, serta kurikulum pembinaan karakter yang efektif. Sementara itu, orang tua memegang peran fundamental dalam membangun fondasi kepribadian anak melalui pola asuh yang sehat, komunikasi yang terbuka, serta keteladanan dalam sikap dan perilaku.
Ketiga unsur ini guru, sekolah, dan orang tua harus bergerak dalam harmoni untuk membangun ekosistem pendidikan yang saling menjaga.
Kebijakan regulatif terkait perlindungan peserta didik dari kekerasan sebenarnya telah tersedia. Namun tantangan utama terletak pada implementasi yang masih lemah. Sekolah sering kali kesulitan dalam menegakkan aturan karena budaya diam, rasa takut melapor, atau kurangnya sumber daya pendukung.
Pendekatan yang berkeadaban harus menempatkan seluruh proses dalam bingkai humanisme, empati, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari bullying bukanlah tugas yang dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Ia membutuhkan kolaborasi, kepekaan, serta keberanian untuk menciptakan perubahan budaya di lingkungan pendidikan. Upaya ini tidak hanya penting untuk melindungi peserta didik, tetapi juga untuk memastikan bahwa sekolah tetap menjadi ruang yang memanusiakan, bukan menakutkan.
Dengan komitmen kolektif serta kebijakan yang tegas dan berkeadaban, budaya bullying dapat ditekan dan digantikan oleh kultur yang lebih sehat: kultur yang berlandaskan empati, saling menghormati, dan menjunjung tinggi martabat setiap insan pendidikan.
















